Titik Takdir

Adnin mendekatkan cincin itu ke ujung hidungnya, seolah hendak meyakinkan dirinya sendiri kalau cincin itu benar-benar nyata. Ditatapnya bagian dalam dari lingkaran sempurna itu. Juga tak berubah. Namanya dan nama Malia masih tertulis disana.

Malia berjalan menuju ke arahnya. Adnin cepat-cepat menggenggam cincin itu dan memasukkannya ke dalam saku celananya.

“Maaf ya, sudah bikin kamu nunggu. Tadi editorku menelepon agak lama. Ada naskah yang harus kurevisi lagi di bab terakhir.” Malia berkata penuh sesal. Dia kembali duduk menghadapi jus jeruk dan roast duck yang selama 15 menit telah ditinggalkannya.

“Nggak apa-apa,” senyum Adnin sambil menggulung spaghetti nya yang mulai mendingin. “Santai aja.”

Malia mengiris daging bebek di hadapannya, menancapkan garpu, dan hendak memakannya, ketika tiba-tiba dia teringat akan sesuatu. “Oh, ya Mas Adnin, kamu mau ngomong apa tadi?”

Adnin tergagap. “Eh? Apa? Yang mana?”

“Uhm. Yang tadi,” Malia mengerutkan kening. Garpunya mengambang di udara. “Sebelum kita masuk ke restoran ini, di mobil tadi kamu bilang hendak mengatakan sesuatu. Apa itu?”

Adnin menelan ludah. Dirabanya cincin di dalam sakunya. Ya, dia baru ingat kalau tadi memang ada hal penting yang ingin disampaikannya pada Malia. Sesuatu yang ada hubungannya dengan cincin ini.

Malam ini seharusnya dia melamar Malia. Dia sudah melakukan ratusan kali simulasi berbeda di depan cermin.

Dia melamar Malia, dan Malia menolaknya, lalu dia telah menyiapkan pertanyaan mengapa? Dan akan menjelaskan padanya kalau dia tak main-main dengan rencananya, lalu Malia akan mengiyakan.

Dia melamar Malia dan Malia menjawab mereka masih terlalu muda, lalu dijawabnya, “25 tahun adalah usia yang tepat untuk menikah. Kita bisa cepat-cepat menikah, cepat-cepat punya anak, dan lebih cepat dibanding yang lain untuk punya cucu. Kau akan menjadi seorang nenek yang masih sangat cantik, dan tentu aku adalah kakek ganteng.”  Dan Malia akan tertawa sambil mengiyakan.

Dia melamar Malia dan Malia menjawab iya. Dia akan menikah dan hidup bahagia bersama gadis itu. Happy ending.

Tapi semua simulasi itu seolah menguap tak berbekas. Cincin itu menjadi terlalu berat disangga bagi rencananya melamar Malia.

“Kok jadi pendiam gitu? Kamu mau ngomong apa tadi, Mas?” desak Malia lagi.

Adnin tertawa gelisah. Dia menggelengkan kepala dengan gugup. “Nggak kok. Bukan sesuatu yang penting.”

“Benarkah?” Malia mengerutkan dahi. Mulai curiga dengan kesalah tingkahan Adnin.

Adnin mengacungkan telunjuk dan jari tengahnya ke depan. “Benar. Sungguh.”

Malia terdiam, dan berkata halus.

“Tapi aku tetap ingin mendengar apapun itu, karena diammu menjadikan aku merasa kalau kata-kata yang ingin kau ucapkan sebenarnya bukannya tak penting seperti yang kau katakan,” ujar Malia tenang.

Adnin mencoba tersenyum. Untuk kesekian kali Malia yang perasa telah mengorek perlahan isi hatinya. Tapi kali ini Adnin tak akan membiarkannya mengetahui apa yang dipikirkannya, apa yang dirasakannya.

“Sudah malam.” Adnin menatap Malia. “Kurasa kita harus pulang. Aku tak mau Bunda dan Ramamu tak percaya lagi padaku.”

Malia mengangguk sambil menyeruput jus jeruknya.

Adnin menarik nafas lega. Sebuah ruang telah tercipta baginya untuk memahami degup jantungnya yang begitu kencang hanya karena sebuah sms yang masuk ke ponselnya 15 menit yang lalu.

Adnin, ini Deshira. Aku mengingatmu.

*

Sebuah kenangan bernama Deshira tak bisa dilupakan begitu saja. Deshira seperti sebuah kotak musik yang diputar selama ribuan kali, mengalunkan lagu yang sama hingga Adnin begitu mengingatnya. Meski kotak musik itu tertutup, Adnin masih bisa mengingat alunan nadanya. Kini begitu kotak musik itu mulai terbuka meski hanya satu nada, Adnin merasa bisa mendengar keseluruhan musiknya, dan bersiap mendengarkannya. Seperti itulah Deshira baginya.

Pertemuannya dengan Deshira beberapa tahun lalu, diawali dengan sebuah kekeliruan.

“Malam ini tugas Indri meliput Bedog Art Festival digantikan kamu ya, Nin,” Firsya, pemimpin redaksi majalah kampus berkata.

“Lho, malam ini aku kan harus mengedit hasil wawancara kemarin, Fir,” protes Adnin. Dia paling malas meliput malam-malam.

“Udah, berangkat aja. Indri sakit dan yang lain pada nggak sempat tuh,” desak Firsya.

Dikiranya aku sempat? Adnin menggerutu dalam hati. Tapi Firsya tak pernah bisa menerima kata tidak. Gadis keras kepala, merasa paling logis sedunia, dan tukang berdebat kelas kakap. Membantahnya berarti mencari masalah di tengah dunia yang damai dan tenang.

“Dimana tempatnya?” dengus Adnin. “Dan apa yang harus kuliput?”

“Studio Seni Banjarmili, Gamping. Dan kabar bagus untukmu. Kau pasti belum pernah menonton Kabuki. Mereka membawa langsung artis Kabuki dari Jepang.” Firsya tersenyum lebar.

Kabuki atau tidak, Adnin sebenarnya memilih memeluk deadline naskah editan wawancara. Tapi tak ada pilihan lain.

Adnin datang ke acara Bedog Art Festival, bergabung bersama penonton. Sebuah panggung kecil dan datar dibuat diantara pepohonan di tepi sungai Bedog. Dia harus menonton pertunjukan Kabuki, dan mewawancarai panitia sebentar. Ini hanya berita acara satu halaman, tapi Firsya si perfectionis tak pernah mengijinkan ada sedikitpun ketidaksempurnaan. Adnin menunggu dan menunggu pertunjukan Kabuki hingga hampir dua jam. Tak sedikitpun tanda-tanda seniman Jepang yang manapun akan muncul di panggung. Semua yang tampil di panggung adalah penari. Adnin mulai curiga dan berjalan terpincang mendekati panggung.

Seorang gadis berkostum penari, berdiri tegak dan menarik nafas seolah hendak menenangkan dirinya.

“Mbak, maaf. Jam berapa pertunjukan Kabukinya?” tanya Adnin.

Tarikan nafasnya terhenti dan dia menoleh pada Adnin. “Kabukinya besok.”

Besok? Adnin merasa ingin membentak Firsya saat ini juga.

“Malam ini panggung milik para penari. Misalnya, aku,” senyumnya lebar. “Aku akan membawa tarian Perang,” katanya sambil menjejak tombak, seolah menjajal kekuatannya. “Mas darimana?”

Adnin menjelaskan nama majalah kampusnya, dan setelah mengobrol sebentar dan saling bertukar nama, dia kembali duduk diantara penonton.

Tari Perang yang dibawakan gadis itu membawa imajinasi Adnin pada kegagahan ksatria-ksatria melawan musuhnya. Gerakan gadis itu begitu kokoh sekaligus gemulai, lembut sekaligus mematikan.

Adnin terpukau pada tarian yang sekaligus menyeret angannya. “Aku Deshira,” ujar gadis itu tadi. “Sampai aku selesai menari, kau tak boleh bergerak.” Dia bercanda, tetapi memaksa. Jangan-jangan gadis itu adalah Firsya yang sedang menyamar, Adnin mencoba bercanda getir pada dirinya sendiri.

“Kalau mau meliput Kabuki, kau bisa datang besok malam,” Deshira, gadis itu mengulurkan segelas teh panas ke arahnya. Dia sudah berganti jins dan blus bergaris, meski riasan wajahnya belum hilang sepenuhnya.

“Ya, kurasa konyol sekali kami bisa salah membaca jadwal,” Adnin mengakui.

Deshira tersenyum. “Justru bagus. Kita bisa menonton Kabuki bersama-sama besok. Aku akan menunggu disini tepat jam 7 malam.”

Adnin terpana dan berdeham salah tingkah. Situasi ini benar-benar membuatnya mati gaya. Seperti ditembak untuk berkencan tanpa persiapan.

“Ini bukan kencan,” sergah Deshira dengan nada malas. “Kurasa setelah menonton Kabuki kau akan mewawancarai panitianya kan?” tegas Deshira. “Aku salah satu panitia.”

Adnin, jangan ge-er. Sebuah lonceng besar imajinatif berdentang  di telinga Adnin untuk menyadarkannya.

Pertunjukan Kabuki bukanlah hari terakhirnya bertemu Deshira. Setelah hari itu ada beberapa telepon Adnin menanyakan kabar Deshira. Lalu sebuah telepon Deshira yang mengajaknya menonton pertunjukan teater di Taman Budaya. Ada lagi sms Adnin yang mengajak Deshira menyusuri Kotabaru dengan berjalan kaki menuju toko buku.  Atau Deshira yang tiba-tiba meminta Adnin melihat latihan menarinya di Rumah Tembi. Setelah hari itu mereka saling bertemu jika membaca pesan inbox Facebook, mention Twitter, sms, telepon, atau apapun yang membuat mereka punya alasan untuk bertemu.

Deshira begitu hidup. Dia membuat Adnin tertawa lebih banyak. Dia membuat Adnin mencintai banyak hal yang selama ini terlewat dari benaknya. Deshira membuat Adnin merasa baru mengetahui bahwa hujan bisa berdenting membawakan musik, angin menceritakan dongeng-dongeng, langit menyelimuti kesedihan,  lautan melegakan perasaan. Deshira membuat Adnin  terpukau, terpikat, terpaku.

Bersama waktu, mereka bicara selama berjam-jam. Ada banyak hal yang bisa diobrolkan setiap bersama Deshira. Hal-hal besar seperti mimpinya melanjutkan sekolah ke India setelah kuliahnya di Psikologi UGM selesai, sampai hal-hal sederhana seperti kerinduannya makan sayur brongkos buatan ibunya yang telah lama meninggal dunia.

Bersama waktu, Adnin berani mengatakan untuk pertama kalinya pada seorang gadis. “Aku ingin mengenalmu, Deshira. Benar-benar mengenalmu.”

“Kau telah mengenalku. Aku bahkan lebih banyak bicara dibandingmu.”

Mereka berdua duduk di hamparan rumput sambil menatap langit.

“Tapi semakin banyak kita bersama, semakin banyak lagi yang ingin kuketahui tentangmu.” Adnin menyentuh kaki kanannya, dan kembali berkata, “Untuk pertama kalinya, ada seorang gadis yang tak peduli dengan kakiku, dan membiarkanku berjalan berdua bersamanya.”

Deshira tersenyum. Tiba-tiba dia mendekat dan menyentuh pergelangan kaki Adnin, melingkarkan jemarinya disana. “Siapa bilang aku tak peduli? Aku bisa melihat kakimu. Aku mengenalmu. Kaulah yang tak mengenalku. Kau tak mengenal dirimu sendiri, maka kau tak bisa mengenal orang lain.”

Adnin menggeser kaki kanannya dengan rikuh. Setiap kali, seumur hidupnya, dia telah bersikap seperti itu jika ada orang lain menyentuh kaki kanannya yang lebih kecil dari kaki kirinya. Keadaan itulah yang membuat langkahnya menjadi pincang.

“Diamlah. Jangan bergerak,” ujar Deshira lembut, seolah menyihirnya.

Adnin menurut. Ditatapnya tangan Deshira yang menggenggam erat pergelangan kakinya.

“Hai Kaki,” kata Deshira tiba-tiba. “Berjalanlah selalu ke tempat-tempat yang baik. Kau harus membawa Adnin untuk bertemu orang-orang yang baik dan bisa membuatnya bahagia. Kau berjanji padaku, Kaki?”

Adnin terkejut. Tak tahu harus mengatakan apa. Tapi rasanya dia tak perlu mengatakan apa-apa karena Deshira telah mendekatkan telinganya ke arah kaki kanannya, dan mengangguk puas.

“Kakimu bilang, dia berjanji padaku untuk melakukannya. Kau bisa tenang sekarang,” ucap Deshira. “Nah untuk debut kebahagiaan pertamamu, bagaimana kalau hari Minggu besok kau menemaniku menari di pelataran rumah Pak Djoko Pekik, lalu setelahnya kita bisa naik rakit menyusuri Sungai Bedog. Ada Kirab Gethek Kiai Song melalui sungai, dan kita akan menyusul naik rakit juga di belakangnya. Kita berkencan. Mau?”

Berkencan naik rakit? Deshira tak pernah berhenti membuat Adnin terkejut.

Seandainya debut kebahagiaan pertamanya seperti yang dikatakan Deshira, ternyata adalah kebahagiaan terakhirnya, tentu Adnin tak bersedia melakukannya. Tapi seperti itulah titik-titik takdir. Manusia tak pernah tahu kapan langkahnya sampai pada titik takdir yang dipilihnya sendiri.

Seusai menari, Deshira menghampiri Adnin. “Hei, kau tampak lucu dengan baju lurik dan wajah coreng moreng itu.”

“Maksudmu, aku tampak cakep?” Adnin berusaha meralat.

“Tidak. Kau tampak lucu.” Deshira mendorong dahi Adnin perlahan. “Jangan memaksakan keberuntungan,” tambahnya tertawa geli.

“Apa naik rakit seperti itu aman?” Adnin ragu sambil menunjuk rakit-rakit yang berjajar di tepi sungai Bedog samping rumah pelukis Djoko Pekik. Peserta kirab yang lain telah bersiap juga dengan kostum, lukisan wajah, dan rakitnya masing-masing.

“Sangat aman,” tegas Deshira yakin. “Kita berdua akan serakit dengan Mas Wido,” tunjuknya pada seorang lelaki berbadan besar. “Ada Tim SAR juga kan, Mas Wido?” dan yang ditanya mengiyakan.

“Aku tak bisa berenang,” ucap Adnin ragu.

“Kau tak akan tenggelam. Kita kan hanya menyusuri sungai ini tak lebih dari 3 kilometer. Kau pikir kita akan sampai ke laut?” ledek Deshira. “Sampai di pelataran studio patung Noor Ibrahim Kasongan, rakit kita sudah berhenti. Lagipula malam tahun baru nanti aku akan mengajakmu ke puncak Barat Gunung Nglanggeran. Jadi kau harus masih hidup saat itu.”

Mas Wido terkekeh-kekeh kesulitan berhenti.

Deshira mendorong punggung Adnin naik ke rakit. Dan rakitpun mulai berjalan diiringi suara tetabuhan yang dibawa rombongan rakit yang lain.

Deshira memang benar. Rakit ini sangat stabil dan aman. Hati Adnin mulai merasa tenang.

“Hei coba lihat!” tunjuk Deshira riang ke arah penonton yang melambai riuh di seberang, mengelu-elukan mereka. Deshira yang selalu ingin berbuat yang terbaik bagi penonton, mulai berdiri dan menari. Tepuk tangan terdengar di sepanjang tepi sungai.

Rakit bergoyang ke kanan dan ke kiri. Tetap stabil memang, tapi Adnin merasa perlu berkata, “Hati-hati, Deshira, ada tiga nyawa di rakit ini.” Dan Mas Wido kembali terkekeh mendengar kata-kata Adnin.

Untuk kesekian kali, Mas Wido mengatakan kalau Adnin tak perlu khawatir, sambil melirik kaki kanan Adnin, membuat Adnin merasa dianggap lemah. Dan setelah 1 kilometer berlalu, sampai di dekat belahan tempuran sungai yang berada di dusun Mrisi, yang dikhawatirkan Adnin tak terelakkan.

Menanggapi riuhnya tepuk tangan penonton di tepi sungai, Deshira tak ingin berhenti menari. Meski rakit stabil, tapi Mas Wido yang memegang kayuh telah luput melihat sebuah batu besar di dekat belahan tempuran sungai. Mas Wido mengelak cepat. Rakit selamat. Tapi Deshira oleng kehilangan keseimbangan. Tangan Adnin yang terulur terlambat meraih tangan Deshira. Jeritan penonton di tepi sungai tak mampu menelan suara benturan kepala pada batu, yang didengar oleh Adnin. Deshira berhenti menari.

Malam tahun baru 2013 tahun lalu, dihabiskan oleh Adnin di rumah sakit. Sejak berhari-hari, berminggu-minggu, hampir beberapa bulan yang lalu dia menunggui Deshira dengan hati tak menentu.

“Maafkan aku tak bisa menjagamu,” bisik Adnin setiap hari. Saat itu Deshira mengira kalau Adnin takut karena tak bisa berenang. Lebih dari itu, Adnin takut jika terjadi sesuatu terhadap Deshira di sungai itu, maka Adnin akan sulit menyelamatkan Deshira karena dia tak bisa berenang. Tapi peristiwa kemarin tak ada hubungannya dengan ketidakmampuan Adnin berenang. Bisa berenang atau tidak, Deshira mungkin tetap terbentur batu. Titik takdir telah menyatakan demikian. Adnin hanya menyesali titik takdirnya sendiri yang tak bisa meraih tangan Deshira lebih cepat untuk menjaganya.

Hari pertama di tahun 2013, Deshira bangun dan menanyakan ibunya. Lupa kalau ibunya telah meninggal dunia bertahun-tahun lamanya. Yang kedua, Deshira lupa siapa Adnin.

“Saya akan ada disisinya sampai Deshira ingat saya, Pak.”

Itu yang terus dikatakan Adnin pada ayah Deshira. Tapi sambil menepuk bahu Adnin, lelaki setengah baya itu berkata, “Deshira akan sembuh jika kau tak berada di sisinya. Tinggalkan dia, Nak. Apa kau tak lihat Deshira terus menjerit ketakutan setiap kali ada yang mendekatinya? Yang diingatnya hanyalah ibunya. Padahal ibunya sudah bertahun-tahun yang lalu tak ada.”

Penyesalan keduanya, titik takdirnya memilihkan jalan untuknya pergi meninggalkan Deshira sebelum dia memberitahu gadis itu tentang rasa cintanya.

*

Malia adalah penyihir. Itu yang diyakini Adnin.

Mengenal Malia adalah menyusuri jalan keajaiban yang mendebarkan. Pertama kali Adnin mengenal Malia adalah ketika dia melewati jalan kenangannya bersama Deshira di Kotabaru. Adnin berbelok ke toko buku yang sama dengan toko buku yang didatanginya bersama Deshira, dan disanalah dia mengambil sebuah novel berjudul Jalan Hati yang ditulis oleh Malia.

Sepertinya itu adalah titik takdir yang lain bagi Adnin. Biasanya, selain novel detektif, Adnin malas membacanya. Novel drama cuma khusus untuk cewek cengeng dan ibu-ibu tipe drama queen, tapi toh hari itu dia tetap mengambilnya.

Tokohnya adalah Adrian, seorang disable yang mencintai seorang penari bernama Sekar. Tetapi Sekar kehilangan ingatan setelah sebuah kecelakaan di sungai Thames London, menimpanya. Adrian pun kehilangan Sekar karena Sekar kehilangan ingatan tentangnya. Tetapi novel itu selesai begitu saja. Menggantung seperti sengaja membuat pembaca mencari sekuelnya.

Adnin terhenyak membaca novel ini. Kemiripan ini, kemiripan jalan hidupnya dengan cerita ini, membuat harapannya tumbuh. Entah kesintingan macam apa yang sedang dipikirkannya, tetapi dia harus menemukan pengarang novel ini. Malia. Keyakinan sintingnya mengatakan, kalau Malia bisa menuliskan apa yang belum terjadi padanya, tentu dia bisa melakukannya sekali lagi untuk merubah hidupnya. Adnin ingin Malia menuliskan sebuah novel dimana Sekar sang penari kembali mengingat Adrian. Mungkin saja itu bisa membuat Deshira kembali mengingatnya.

Adnin mulai melacak jejak Malia melalui media sosial dan blognya. Lalu di sebuah bedah buku, Adnin duduk di kursi paling sudut untuk menyiapkan dirinya berbicara dengan Malia seusai acara.

Malia, penyihir itu, hanya tersenyum ketika Adnin mengungkapkan teorinya.

“Apa aku sedang dianggap sinting?” tanya Adnin ketika melihat senyum terukir di bibir Malia.

Malia seolah menimbang sesuatu. Akhirnya dia berkata, “Semua orang sinting, dengan kadar masing-masing. Teorimu tentang aku mungkin bisa menjalankan nasibmu, atau nasibku dengan tulisanku, meski sinting tapi itu membuatku tertarik. Kurasa aku akan mencobanya.”

Adnin sangat gembira mendengarnya.

“Tapi mungkin kita harus mengenal lebih baik satu sama lain, bukan? Agar aku bisa menuliskan yang terbaik. Aku toh bukan Tuhan, jadi aku membutuhkanmu agar jalan cerita ini menjadi yang terbaik bagi hidupmu, atau… hidupku.”

“Jadi kau akan membuat novel berikutnya untuk melanjutkan cerita Jalan Hati?” Adnin bertanya meyakinkan dirinya.

“Kalau kamu setuju dengan syaratnya.”

“Aku setuju.”

Itulah awalnya.

Seiring waktu, Adninpun tahu kalau Malia tak seriang Deshira. Malia tak banyak membuatnya tertawa. Malia tak menyukai kejutan. Malia tak bisa mengungkapkan banyak pikirannya melalui pembicaraan. Malia tertutup dan pendiam. Itu kalau Adnin mau berbuat tak adil dan membandingkannya dengan Deshira.

Tapi kalau mau adil, tanpa banyak berkata Malia telah berbicara banyak melalui tulisan dan tatapan matanya. Matanya adalah mata paling ekspresif yang pernah ditangkap oleh Adnin dan tulisannya adalah kalimat-kalimat yang membuat Malia hidup lebih lama dibandingkan dengan usianya kelak. Malia yang perasaannya sangat halus bisa mengetahui apa yang tak terucap oleh Adnin. Jika Malia tersenyum, maka Adnin merasa hari itu semua akan berjalan sangat baik karenanya.

Karena Malia pendiam, Adnin lah yang lebih banyak bercerita. Tentang hujan yang bisa berdenting membawakan musik, angin yang menceritakan dongeng-dongeng, langit yang menyelimuti kesedihan,  lautan yang melegakan perasaan.

“Aku tahu tentang itu,” kata Malia.

“Kau tahu?” tanya Adnin kaget. Lalu mengingat-ingat kapan dia pernah mengatakannya.

“Ya, aku menuliskan di novelku hal yang mirip dengan apa yang Mas Adnin katakan. Tapi Sekarlah yang mengatakannya.” Malia menatap langit.

Adnin tersadar. Ya, tentu. Kaulah penyihirnya. Kau yang menyihir kisah kami melalui tulisanmu, pikirnya.

“Menurutmu, apa itu cinta?” tanya Malia di sebuah taman suatu ketika, sambil menyodorkan es krim pada Adnin.

“Apa ini ada hubungannya dengan sekuel novelmu?” tanya Adnin ingin tahu.

“Tentu.”

Adnin berpikir. Tentang Deshira yang berada di balik dinding tebal tak terjamah, tentang Malia yang berusaha membantunya memilihkan jalan, tentang dirinya sendiri yang seolah tak tahu arah. Lalu Adnin menggeleng. “Aku tak tahu pasti. Tapi mungkin, cinta adalah pertemuan titik takdir. Seseorang bisa saja bertemu dengan siapapun dan mencintainya jika titik takdir mereka saling bertemu.”

“Jadi begitu? Seseorang bisa mencintai siapapun yang ditemuinya dimanapun?” Malia mengerutkan dahi.

Adnin mengangguk. “Temanku pernah menemukan dompet seseorang yang terjatuh di terminal dan mengembalikannya. Beberapa bulan kemudian dia menikahi si pemilik dompet. Apa yang terjadi jika dia tak mengambil dompet itu? Mungkin saja dia akan menemukan payung, dan menikah dengan si pemilik payung.” Adnin tertawa.

Malia tersenyum simpul. “Jadi begitu.”

“Pasti begitu,” ujar Adnin yakin. “Oh ya, sampai mana tulisanmu untuk novel itu?”

“Aku tak akan mengatakannya padamu.”

“Hei, itu tak adil karena menyangkut hidupku.” Adnin dengan iseng mencolek es krimnya dan menempelkannya di hidung Malia.

“Eh,” Malia memekik, “Awas ya!”

Adnin tertawa ketika Malia menjewer telinganya. Tangannya kembali mencolek es krim dan menempelkannya di dahi Malia. Malia menonjok bahu Adnin. Tak kena karena Adnin berkelit dan bersiap untuk lari.

“Jangan lari, Mas Adnin!”  Malia tiba-tiba berkata sambil memegangi kaki kanannya. “Kalau kau lari aku harus mengejarmu.”

Adnin menatap kaki kanannya di tangan Malia, terdiam sesaat, dan mendongak ketika matanya beradu dengan mata jernih Malia. Mata yang seringkali mengatakan banyak hal, melebihi luasnya lautan. Mata yang seringkali menyatakan banyak hal melebihi angin yang mendongeng tentang cinta. Mata yang menjanjikan banyak hal, termasuk kebahagiaan. Dan mata itu, mata yang sedang menatapnya itu, membuat hati Adnin tergetar.

“Aku…” suara Adnin tercekat. Dia menarik nafas, “Aku tak akan lari kemana-mana.”

Malia melepas kaki kanan Adnin perlahan.

“Kurasa,” Adnin kembali berkata, “Kaulah yang jangan lari kemana-mana. Karena aku, mungkin tak bisa mengejarmu.”

Mata keduanya bersitatap. Lalu Malia memalingkan wajahnya.

Dan di titik itu, Adnin menyadari satu hal yang sangat mengkhawatirkan dan sangat di luar rencananya semula. Hatinya telah menemukan titik takdir bernama mencintai Malia.

*

Hampir satu jam Adnin menunggu Deshira di sebuah cafe kecil di dekat Kampus UGM. Ketika Deshira datang ke mejanya, untuk sesaat Adnin tak mengenali rambut pendek Deshira.

“Adnin?” suara Deshira masih sama.

“Ya.” Adnin tersenyum dan mengangguk.

Deshira tak menari lagi di panggung, itu yang dikatakan Deshira. Banyak gerakan tari telah dilupakannya sejak kecelakaan itu. Amnesia itu diderita Deshira hampir sebelas bulan lamanya. Dia hampir sepenuhnya pulih, tapi dia juga cuti dari kuliah karena harus mengulang banyak kata sederhana di awal amnesia. Berminggu-minggu dia berkeliling tanpa henti di dalam rumah untuk menemukan ibunya yang telah meninggal tanpa menyadari sedikitpun kalau ibunya tak ada. Deshira tak ingat ayahnya saat itu, tak ingat teman-temannya, tak ingat Adnin.

“Lalu beberapa hari yang lalu aku melihat foto seorang serdadu di National Geographic, mengenakan kaki robot yang lebih kecil dari kaki aslinya. Dan aku tiba-tiba mengingatmu.” Deshira menjelaskan dengan bersemangat.

Adnin terdiam.

“Oh, bukan maksudku untuk menyinggung perasaanmu. Aku hanya senang karena mengingat namamu.” Deshira merasa tak enak. “Aku juga ingat, janjiku padamu untuk naik ke puncak Barat Gunung Nglanggeran.”

“Aku tak menganggapnya janji, Deshira,” Adnin berkata lembut. “Aku tak mau kau terbebani.”

Deshira terdiam. Ditatapnya Adnin lekat-lekat. “Yang aku tak ingat…” ujarnya lambat-lambat. “Sebenarnya bagaimana hubungan kita?”

Adnin terpaku, tak sanggup bernafas.

“Karena…” Deshira mengerutkan kening, dan memegang ulu hatinya. “Karena aku merasa ada yang sakit sekaligus lega di dalam hatiku ini ketika melihatmu. Apakah kita berdua pernah saling mencintai?”

*

“Bagaimana kalau malam tahun baru nanti kita naik ke Puncak Timur Gunung Nglanggeran?” Malia berkata tiba-tiba.

Adnin terlonjak kaget, “Gunung Nglanggeran?” Kenapa harus gunung yang sama?

“Mas Adnin tak tertarik?” Malia mengerutkan dahi. “Itu memang gunung purba, tapi pemandangannya indah.”

Malia bukanlah pemaksa. Tetapi justru itu, Adnin tak bisa menolaknya.

“Baiklah,” ujarnya.

Dan hari Selasa senja itu, mereka berada disana. Bau tanah sisa hujan seolah kontras dengan ingatan Adnin pada bau rumah sakit di malam tahun baru saat menunggu sadarnya Deshira.

“Mas Adnin, kita bisa melihat senja terakhir di penghujung 2013 sekaligus fajar pertama 2014 dari tempat ini,” ucap Malia.

“Kalau kau tak tertidur maksudmu?” sela Adnin usil.

Malia terkekeh. “Aku nggak mudah tertidur begitu saja kalau punya keinginan yang kuat.”

“Apa keinginanmu memangnya?” Adnin bertanya.

“Menyelesaikan novelku menjadi akhir yang bahagia.” Malia tersenyum.

Adnin hendak bertanya tentang novel itu, tapi tiba-tiba teringat pada cincin di saku celananya. Dengan gugup dirabanya saku itu, takut cincin itu telah hilang tertelan air cucian.

“Nyariin apa?” Malia penasaran.

Oh, ini dia, syukurlah cincinnya ketemu, Adnin mendesah lega. “Nyariin ini,” cetusnya lega. Lalu diulurkannya cincin itu pada Malia.

“Cincin apa ini?”

“Oh, itu. Maukah kau menikah denganku?” tanya Adnin kalem.

Malia melotot. Didorongnya cincin itu di depan mata Adnin sambil merengut. “Tidak pernah belajar melamar dari novel romantis ya???”

Adnin tertawa. Dia menggeleng. “Kembalikan padaku kalau tidak mau.”

Malia tambah cemberut. “Tentu saja mau,” katanya sambil melingkarkannya cepat-cepat di jari manisnya.

Malia merebahkan kepalanya di bahu Adnin sambil memandangi jari manisnya yang terentang di udara.

“Kau pasti kaget dengan kejutan ini,” ujar Adnin.

Malia mencibir sambil tersenyum. “Tentu saja tidak. Aku sudah menuliskan tepat seperti inilah Adrian melamar Liani, penulis novel itu. Persis di tempat yang sama. Di puncak Timur Gunung Nglanggeran, Pathuk.”

“Kau penyihir,” Adnin setengah mencela.

Malia tersenyum bangga, “Aku tahu.”

“Ada lagi yang lain?” tanya Adnin.

“Kau bisa membaca novelku setibanya kita di Yogya,” jawab Malia cuek.

Adnin terdiam. Sangat penasaran tentang suatu hal, tapi tak ingin bertanya. Tapi malam semakin larut, dan keheningan mulai banyak tercipta. Akhirnya karena tak sabar menunggu besok, Adnin bertanya lagi. “Lalu, bagaimana dengan Sekar?”

Malia yang separuh tertidur di bahu Adnin menggumamkan jawaban. “Dia baik-baik saja. Tak jauh dari tempat ini.”

Adnin mengerutkan kening. Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Sebuah sms.

Aku berada di puncak Barat Gunung Nglanggeran. Aku sedang berdoa semoga kakimu membawamu bertemu seseorang yang membuatmu bahagia.

Adnin menoleh ke arah puncak Barat di belakang punggungnya. Saat ini dia merasa seperti Janus, tokoh mitologi Romawi yang memiliki dua wajah menghadap masa lalu dan menatap masa depan.

Dibalasnya sms Deshira. Kaulah yang mengantarku sampai ke titik takdirku kini, Deshira. Terimakasih.

“Dari siapa smsnya?” Malia ingin tahu sambil tetap memejamkan mata.

Adnin tersenyum. Sambil merengkuh bahu Malia dia menjawab lirih. “Kurasa kau juga tahu yang ini, Penyihir.”

Malia tersenyum sekilas.

Cerpen Cinta ini diikutkan dalam Lomba #NulisKilat ala Bentang Pustaka & PlotPoin

Pelajaran Menyeberang Oktipa Gurita

Di Kota Samudera, ada gadis gurita kecil merah bernama Oktipa. Oktipa adalah gurita kecil yang riang. Tetapi hari ini, hatinya sedang sedih. Dia ingin cepat-cepat pulang dari sekolah dan bercerita pada Mama.

Oktipa berhenti di tepi jalan raya dan berdiri kebingungan. Jalan raya begitu padat oleh ratusan ikan yang berenang cepat-cepat. “Oh, bagaimana cara menyeberangi jalan raya tanpa tertabrak?” pikir Oktipa.

Rumah Oktipa memang harus melewati jalan raya terpadat di Kota Samudera, tetapi biasanya dia tak kebingungan seperti ini karena selalu pulang bersama-sama dengan Rita, gurita kecil yang sekelas dengannya. Rita adalah gurita yang pemberani. Bersama sahabatnya itu Oktipa selalu merasa aman. Sayangnya hari ini, Rita sudah pulang mendahuluinya karena sedang marah dengan Oktipa. Dan itulah yang menyebabkan Oktipa sedih hari ini.

Oktipa menarik napas panjang. Bagaimanapun juga dia tetap harus menyeberang jalan jika ingin pulang ke rumah. Sambil memejamkan mata karena ketakutan, Oktipa berjalan sambil mengibas-kibaskan tentakelnya dengan panik, meminta semua ikan yang berenang di jalanan berhenti.

Seekor paus bertopi yang kelihatannya sangat terburu-buru, menabrak Oktipa. Oktipa terlempar ke tengah dan menginjak seekor ikan salem yang menjerit marah. Oktipa yang terkejut langsung melompat ke arah sekawanan ikan makarel yang selalu berenang bergerombol. Mereka dengan kesal berkumpul dan melontarkan Oktipa ke tepi jalan raya, dan membuat lalu lintas kacau.

“Kau membuatku terlambat datang ke pertemuan para hakim!” seru ikan paus bertopi jengkel.

“Bagaimana mungkin ada gurita sebesar kau belum tahu cara menyeberang jalan?” jerit ikan salem sekali lagi. “Aku yang tak sebesar kau saja lebih pintar menyeberang jalan!”

“Buka matamu lebar-lebar kalau menyeberang!” seru ikan-ikan makarel dengan kesal. “Jangankan melemparmu, kami bahkan bisa melempar ikan paus jika sedang marah.”

Ikan paus bertopi itu melotot ke arah ikan-ikan makarel.

“Maksud kami, tentu bukan melempar anda, Pak Hakim,” beberapa ikan makarel meringis melihat pelototan ikan paus.

Oktipa sangat ketakutan. Dia menangis keras-keras.

Ikan salem yang tadi diinjak Oktipa merasa iba. “Baiklah. Kurasa kami memaafkanmu. Ayo, kuantar kau menyeberang jalan.” Katanya sambil menyeberangkan Oktipa yang masih ketakutan.

Sampai rumah, tangis Oktipa meledak lagi.

“Ada apa, Nak?” Mama keheranan ketika Oktipa menghambur ke pelukannya.

“Mama, aku sangat sedih hari ini. Rita marah padaku, dan semua orang di jalan tadi juga memarahiku.” Oktipa tersedu.

“Apa yang kau lakukan sampai Rita marah padamu? Dan tentu kau juga berbuat salah sehingga semua orang di jalan memarahimu. Coba ceritakan pada Mama.” Mama duduk sambil meraih cangkir teh, piring kue, dan kaleng biskuit dengan tentakelnya.

“Sudah berhari-hari ini Rita memakai sepatu sobek. Rita belum mempunyai uang untuk membeli yang baru, dan dia ingin membeli sepatu lamaku dengan tabungannya. Aku tak mau dia membeli sepatu lamaku, dan aku berkata akan memberikan saja padanya. Tapi Rita marah dan berkata kalau dia ingin membeli, bukan meminta.” Oktipa tersedu-sedu.

Mama mengangguk-angguk. “Lalu apa yang terjadi padamu di jalan sehingga semua orang memarahimu?” tanya Mama sambil menyeruput tehnya.

“Aku tak bisa menyeberang jalan tanpa Rita,” keluh Oktipa. “Dan aku menabrak seekor ikan paus, menginjak seekor ikan salem, dan dilempar oleh sekawanan makarel tadi sepulang sekolah.”

Mama menatap Oktipa. “Kau sudah tahu apa kesalahanmu sekarang?”

Oktipa menggeleng sambil menyusut air matanya. Dia menggeleng perlahan-lahan.

“Mulai dari menyeberang jalan,” tegas Mama, “Apakah kau melihat ke kanan dan ke kiri dulu sebelum menyeberangi jalan? Apakah kau memastikan tak akan bertabrakan dengan seekor ikanpun saat menyeberang jalan?”

Oktipa menggeleng. “Aku memejamkan mata saat menyeberang jalan karena sangat ketakutan.” Jawabnya merasa bersalah.

“Oktipa, dalam menyeberang jalan, kau tidak hanya memikirkan keselamatan dirimu tetapi juga keselamatan yang lain,” ujar Mama. “Jadi pastikan untuk menoleh ke kanan dan ke kiri untuk mengawasi lajunya ikan lain. Gerakkan tentakelmu perlahan sambil berjalan, untuk memberi tanda bahwa kau akan menyeberang. Itu juga sebagai tanda bagi mereka agar melambatkan laju berenang.”

Oktipa menoleh ke kanan dan ke kiri perlahan-lahan, mempraktekkan kata-kata Mama.

“Lalu tentang Rita,” lanjut Mama. “Apakah saat kau mengatakan akan memberi sepatu lamamu pada Rita, kau mengatakannya di depan teman yang lain?”

Oktipa mengingat-ingat. “Ya, saat itu kami sedang berada di dalam kelas. Rita berbisik hendak membeli sepatu lamaku, dan aku menjawabnya dengan suara keras.”

Mama mengangguk mengerti. “Tentu Rita malu. Memberi sesuatu sementara temanmu ingin membelinya, kadang-kadang akan membuat hati tersinggung.”

“Tapi aku berniat baik.” Oktipa berkilah.

“Benar. Tapi cukup tunjukkan niat baik itu dengan memudahkan niat baik temanmu. Ritapun ingin membeli sepatu baru, tetapi jika dia terpaksa membeli yang lama darimu, tak perlu kau teriakkan di depan semua orang bahwa kau akan memberinya. Bisakah kau bayangkan perasaan malu Rita saat itu?” tanya Mama.

Oktipa mengangguk.

“Seperti ketika kau menyeberang jalan, dalam bersahabat kau juga harus menoleh ke kanan dan ke kiri ketika menghadapi sahabatmu. Pikirkan baik-baik apa yang hendak kau lakukan, atau kau katakan. Maka jika sikap itu membuatmu selamat di jalan raya, sikap itu juga akan menyelamatkan persahabatanmu.” Mama membelai kepala Oktipa.

“Lalu apa yang harus kulakukan sekarang, Ma?”

Mama mengulurkan kaleng biskuit ke arah Oktipa. “Mintalah maaf pada Rita, dan katakan kalau kau bisa menjual sepatu lamamu padanya. Berikan harga yang paling murah, dan biarkan Rita tetap membelinya. Lalu kalian bisa pergi ke taman sambil mengobrol dan makan biskuit buatan Mama.”

Oktipa mengangguk.

“Hati-hati, kau harus menyeberang jalan raya jika hendak pergi ke taman,” Mama mengingatkan.

“Kali ini aku akan menoleh dulu ke kanan dan ke kiri untuk memastikan,”  senyum Oktipa lebar. “Terimakasih Mama.”

Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Cerpen Anak Gurita.

Mimpi

Beberapa hari sebelum tahu kalau hamil, aku bermimpi melihat bayi perempuan melompat dan langsung berpegangan pada palang-palang besi berwarna hitam. Dia berayun-ayun dengan lincah sambil tertawa-tawa, berpegangan di palang-palang hitam itu, seperti bayi sirkus (pikirku dalam mimpi)
Ngeri melihat seorang bayi berpegangan di palang dan berayun-ayun tanpa rasa takut, aku menjerit dan berlari menghampirinya. Dia kelihatan terkejut mendengar jeritanku, dan terjatuh. Untunglah aku bisa menangkapnya dengan tangan kiriku, memeluknya sebentar, sebelum tiba-tiba bayi itu merosot ke bawah, menghilang melalui lengan kiriku.

Aku bangun dan ingat mimpi itu dengan jelas.

Saat tanggal 3 Desember kemarin aku harus dibawa ke rumah bersalin karena pendarahan, di ruang bersalin aku melihat palang-palang hitam di atasku, yang di ruangan itu dipakai sebagai palang untuk tirai pembatas. Palang hitam yang sama persis seperti dalam mimpiku. Detik itu juga aku tahu, bahwa anak di dalam rahim ini tak dapat dipertahankan. Dia akan pergi, seperti saat dalam mimpi dia merosot menghilang melalui pelukan tangan kiriku.