Ibu Tiri

Cerpen Majalah Ummi Februari 2016
Cerpen Majalah Ummi Februari 2016

 

Kertas sobekan buku tulis itu tergeletak begitu saja di meja makan. Niti yang baru saja kembali dari ladang tebu Madukismo senja itu, membaca tulisan Deni disana.

“Aku pergi. Nggak usah dicari.”

Begitu yang terbaca oleh Niti di tulisan tegak-tegak milik Deni.

Rasa khawatir mulai menyeruak saat Niti berhasil mencerna maksud tulisan itu. Ia segera pergi ke dapur, yang sekaligus adalah kamar Deni. Tak ada satupun pakaian Deni tergantung di atas dipan, dan sepiring lenthok [1]lauk makan malam menghilang.

“Ayik, Mas Deni bilang tidak kemana dia pergi?” Niti membuka tirai bilik dan menemukan Ayik anak perempuannya sedang berjongkok sambil memeluk tas sekolah barunya. Bahunya tersedu sedan berusaha meredam tangis agar tak terdengar.

“Kamu kenapa?” Niti meraih bahu Ayik. Tas di pelukan Ayik terlepas.

“Masya Allah!” pekik Niti sambil menutup mulutnya. Tas itu terkoyak-koyak. Niti paham sekarang penyebab lelehan air mata Ayik.

Niti berjongkok. “Mas Deni yang melakukan ini?” suaranya terdengar menuduh. Ia tak bermaksud melakukan itu, tetapi pikirannya langsung mengaitkan kepergian Deni dengan rusaknya tas Ayik.

Ayik mengangguk. Kali ini tangisnya pecah.

***

“Deni tidak ada di rumah teman-temannya,” ujar Wahir, ayah Deni. “Kemana dia sebenarnya?”

Niti tak berani menjawab. Suaminya tadi sudah naik pitam mendengar dugaan yang dilontarkannya, bahwa kemungkinan kepergian Deni adalah karena ia telah merusak tas Ayik.

“Kenapa Deni bisa merusak tas Ayik?” gumam Wahir geram.

Niti hanya menunduk, menatap kakinya yang berjari lebar dan pecah-pecah karena seharian berada di ladang.

“Kemungkinan Deni marah karena Ayik dibelikan tas baru, dan ia tidak,” Niti mengucapkan dugaannya tentang perasaan Deni, dengan ragu-ragu, siap menerima kemarahan suaminya. Continue reading